SEJARAH PONDOK PESANTREN ZAINUL HASAN GENGGONG DARI MASA KE MASA
Salah satu pesantren salaf tua di Indonesia adalah Pesantren Genggong.
Genggong adalah nama sejenis bunga. Bunga ini banyak tumbuh di sebuah
desa bernama Karangbong. Desa ini terletak di Kecamatan Pajarakan, ± 25
km arah timur Kabupaten Probolinggo. Sebelum berada di Kecamatan
Pajarakan, dulu Pesantren Genggong berada di wilayah Kawedanan Kraksaan.
Menurut cerita, dulu bunga ini sering digunakan oleh masyarakat untuk
riasan penganten, khitan (sunat), dan beberapa keperluan-keperluan lain.
Seiring dengan berjalannya waktu, perhatian masyarakat pada bunga ini
berkurang hingga bunga Genggong tidak pernah lagi terlihat di desa
tersebut. Tidak ada masyarakat yang pernah lagi melihat bunga ini
tumbuh. Masyarakat pun menganggap bunga ini telah punah. Adalah KH.
Zainul Abidin, seorang ulama keturunan Maghrabi (Maroko), pada tahun
1259 h/1839 m mendirikan sebuah pesantren di desa tersebut. Beliau
pernah menuntut ilmu di Pesantren Sidoresmo Surabaya. sayang sekali
tidak ada sumber yang menyebutkan silsilah KH. Zainul Abidin dengan
jelas dan terperinci. Oleh masyarakat, pesantren yang didirikan beliau
dinamakan Genggong, sesuai dengan nama bunga yang dimaksud. Hingga saat
naskah ini disusun, Pesantren Genggong telah diasuh oleh empat orang
pengasuh. Pengasuh pertama sekaligus pendirinya adalah KH. Zainul
Abidin. Beliau menjadi mengasuh pesantren sejak didirikan hingga wafat
pada 1890 m. Di masa awal, partisipasi dan perhatian masyarakat sekitar
belum begitu nampak, namun lama-kelamaan para santri makin bertambah
dari tahun ke tahun sehingga diperlukan pembangunan lokasi menginap para
santri yang akan bermukim. karena bangunan yang ada masih belum cukup
untuk menampung jumlah santri yang semakin meningkat, maka
pengajian-pengajian dilakukan di tempat-tempat darurat selama masih
layak ditempati. perlahan, bangunan-bangunan yang disebut kotakan
tersebut mulai berdiri berkat usaha KH. Zainul Abidin serta dukungan
dari masyarakat sekitar dan para wali santri. Kotakan adalah istilah
lain dari kamar untuk menyebut tempat menginap santri pada masa awal
berdirinya Pesantren. Kotakan ini terbuat dari bahan bambu dan kayu.
Biasanya satu kotakan bisa ditempati oleh beberapa orang santri. Jumlah
santri yang tinggal di satu kotakan tergantung dari besar dan luasnya
kotakan. Berkat ketekunan dan kesabaran dalam melayani para santrinya
yang mengaji, makin hari makin banyak santri yang datang untuk menuntut
ilmu. Ini adalah buah yang dipetik KH. Zainul Abidin yang telah dilihat
langsung dan didengar oleh masyarakat. berkat ilmu dan keahliannya, maka
mulai berdatangan orang tua santri untuk menitipkan putranya kepada
beliau. Pengasuh kedua adalah KH. Mohammad Hasan. Beliau adalah menantu
KH. Zainul Abidin dari putri beliau yang bernama Nyai Ruwaidah. Sejak
pernikahan inilah KH. Mohammad Hasan membantu mertuanya dalam membina
pesantren. Beliau mengembangkan sistem pendidikan pesantren salafiyah
(tradisional) dengan metode pembelajaran dan pendidikan klasikal. Masa
ini bersamaan dengan perjuangan fisik kemerdekaan Indonesia melawan
penjajah. Organisasi-organisasi pergerakan yang bersifat nasional maupun
lokal mulai terbentuk. Di tengah situasi tersebut itulah KH. Mohammad
Hasan mengasuh pesantren. Beliau menjadi pengasuh pesantren sejak
wafatnya KH. Zainul Abidin tahun 1890-1952 m. Beliau wafat pada tahun
1955 m. Pengasuh ketiga adalah KH. Hasan Saifouridzall. Beliau adalah
putra KH. Mohammad Hasan dari pernikahan dengan istri beliau yang
bernama Nyai Hj. Siti Aminah. Pada masa beliaulah pengembangan
pendidikan formal mulai dilakukan dengan memadukan kurikulum pendidikan
agama dan salafiyah dengan kurikulum nasional yang ditandai dengan
membuka lembaga pendidikan dari tingkat pendidikan dasar hingga
pendidikan tinggi. Beliau menjadi pengasuh pesantren tahun sejak tahun
1952 hingga wafat pada 1991 m. Sebenarnya KH. Mohammad Hasan wafat pada
1955 m., namun kepemimpinan pesantren telah diserahkan pada tahun 1952
m. di saat KH. Mohammad Hasan sudah berusia senja. Kepengasuhan keempat
diteruskan oleh KH. Mohammad Hasan Mutawakkil Alallah. Beliau adalah
putra KH. Hasan Saifouridzall dari pernikahan dengan Nyai Hj. Himami
Hafshawati. Beliau menjadi pengasuh pesantren sejak tahun 1991 m.
Selama perjalanannya pesantren ini telah mengalami 3 kali perubahan nama
yang digunakan secara bergantian. Genggong adalah nama pertama
pesantren ini. Nama genggong digunakan sejak awal berdirinya pada tahun
sampai tahun 1952 m. Saat bernama genggong, pesantren ini telah diasuh
oleh 2 (dua) orang pengasuh, yaitu KH. Zainul Abidin dan KH. Mohammad
Hasan. Perubahan nama untuk pertama kalinya terjadi pada tahun 1952 m.
Nama genggong secara formal dirubah menjadi Asrama Pelajar Islam
Genggong, disingkat APIG. Nama ini digunakan sampai tahun 1959 m.
Perubahan ini terjadi pada masa kepengasuhan KH. Hasan Saifouridzall.
Perubahan kedua ialah dengan mengganti APIG dengan Zainul Hasan. Nama
ini ditetapkan sejak tanggal 19 juli 1959 m./1 muharram 1379 h. Nama
Zainul Hasan ini diambil dari nama dua tokoh yang telah membesarkan
Pesantren Genggong. Nama Zainul diambil dari nama KH. Zainul Abidin
sebagai pendiri Genggong, sedangkan nama Hasan diambil dari nama KH.
Mohammad Hasan, pengasuh kedua. Perubahan-perubahan nama tersebut tidak
sepenuhnya dipahami masyarakat. Secara formal, nama pesantren ini adalah
Zainul Hasan, namun masyarakat umum lebih mengenal nama Genggong dan
tetap menyebutnya demikian. Pesantren Genggong didirikan atas dasar
cita-cita mulia dan luhur serta tanggung jawab secara keilmuan melihat
fenomena masyarakat awam yang perlu mendapatkan sentuhan ilmu
pengetahuan dan agama. Perilaku masyarakat pada awal berdirinya
pesantren banyak bertentangan dengan nilai-nilai agama seperti melakukan
perbuatan dosa besar kepada Allah SWT. Atas dasar itulah pesantren ini
didirikan. Keberadaan Pesantren Genggong di tengah-tengah kehidupan
masyarakat mendatangkan banyak manfaat bagi daerah sekitarnya.
Sektor-sektor kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya perlahan mulai
terangkat dan terbenahi. Mentalitas masyarakat yang masih terpaku pada
sistem adat-istiadat lama yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai
agama perlahan diperbaiki. Upaya perubahan yang dilakukan Pesantren
Genggong mendapatkan simpati masyarakat dengan mendukung perkembangan
pesantren. Kelak ketika santri telah pulang ke masyarakat, mereka
diharapkan mampu mewarnai kehidupan masyarakat dengan tetap berpegang
pada satu prinsip yang disebut “Satlogi Santri” yang digagas oleh KH.
Hasan Saifouridzall. Satlogi santri ini merupakan kependekan dari S
(sopan santun) A (ajeg/istiqomah) N (nasehat) T (taqwallah) R
(ridlallah) I (ikhlas).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar